Langsung ke konten utama

Dilema anak kos-kosan


Banyak dari kalangan pemangku kepentingan sukses diorbit oleh anak kos, dan dengan cara mereka diantaranya mampu bermetamorphosis menjadi tokoh.

Namun untuk bisa menikmati kemenangan, anak kos-kosan terpaksa harus ikut bermetamorphosis juga. Manyoritas mereka mendirikan lembaga sebagai wadah, tempat menampung aspirasi. Dan, semua elemen yang mengusung seseorang yang dulunya cuma "calon"  dimasukkan juga dalam ormas ini.

Namun, walaupun sudah berusaha sedemikian rupa,  tak ayal,  dinamika dan polemik "meurupah tumpok" sering terjadi secara internal organisasi membuat yang lemah terpental keluar.

Hal yang bukan disengaja memang, korbannya anak kos, pertama, mereka tidak memiliki cost politik,  hal yang paling diperhitungkan oleh politisi sebagai kupon belanja, menyebabkan suara mereka terdengar sumbang. Kedua, "kestabilan politik", anak kos harus dilemahkan perannya oleh petinggi karena wilayah kekuasaan yang luas tidak boleh cuma diisi oleh mereka.

Pahit memang, anak kos harus ditinggalkan karena menjadi beban organisasi  bila terus dipertahankan.

Pernah, dulu nenek moyang anak kos harus berdarah-darah menggeliat diantara kader partai dan pembisik supaya bisa bertahan dan diperhitungkan seperti yang pernah diperankan oleh Arifin panigoro dan pramono anung mewakili fraksi anak kos dalam kubu PDIP melawan kader fanatik partainya sendiri.

Kalau bukan karena setelah ditangkap kembali dibebaskan, saya juga akan memasukkan fraksi kaum rebahan sebagai lawan kuat anak kos masa sekarang dalam dunia perpolitikan.  Sekian.

Presiden fraksi anak kos
James Gani

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jawaban bila ditanya kapan pulang

Keberangkatanku dari kampung halaman, dimata orang lain adalah hal mainstream,  dan banyak dilakukan oleh pemuda seusiaku. Beragam kesimpulan bisa terpikir tapi aku bertujuan lain.  Hampir tidak menyisakan sama sekali pemuda seusiaku di desa tempat aku dibesarkan. Semuanya berangkat, ada yang di Jakarta, di Medan dan manyoritas di Malaysia menjadi diaspora Aceh.  Bisa dibilang, budaya merantau pada masyarakat daerahku telah mendarah daging sebagai sebuah tradisi. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang memulainya, tapi phenomena ini terus ada dari generasi ke generasi.  Seingatku pernah dulu, masa dipaksa berlakunya ktp merah putih untuk semua penduduk di Aceh. Memasuki usia 17 tahun, atau tamat SMA, pemuda desa langsung berangkat ke malaysia dan memulai hidup baru disana, hal ini dikarenakan perang berkepanjangan membuat sulit membuka usaha di daerah.  Ada juga setelahnya, dimasa damai. Tiap aku menerima koran harian, di halaman depan, selalu aja ada pemberitaan,

Senyum Palsu

by Moh Jawahir  a Master Student of International Development Tsinghua University Hal yang paling menyedihkan ketika manusia tumbuh dewasa ialah mereka merasa bahwa masa kecil dan segala kenangan didalamnya adalah hal yang seutuhnya harus ditinggalkan. Padahal, masa kanak-kanak mengajarkan banyak hal yang cukup berarti untuk kehidupan kita. Saat lebaran misalnya, mereka berlomba-lomba menunjukan baju baru dan mainan yang dibelikan mamah papahnya sebagai imbalan telah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Meski begitu, mereka menganggap ini bukanlah persaingan. Pasalnya, mereka tetap bisa bermain bersama tanpa membedakan baju dan jenis mainan yang dimilikinya, bahkan tak jarang mereka berbagi pinjam. Namun sayang, semua itu nampak mulai berubah saat mereka beranjak dewasa.  Kampung di mana aku dan teman-teman menghabiskan masa kecil yang penuh gelak tawa, kini sudah tak lagi sama. Nampak asing dan sudah tidak menyenangkan seperti dulu. Hampir semua teman-teman seus

Cuma Rasa-rasanya

Selama studi S1, dulu, aku merasa fleksibel banget bertemu politisi, pemangku kepentingan, pejabat daerah, pekerja profesi, dan ahli bidang tertentu hingga ke lintas provinsi. Padahal ini cuma "rasa-rasanya" saja bisa ngobrol rileks semeja, mesan kopi dan duduk dengan orang level berbeda. Bahkan beberapa temanku juga lebih intens diikutsertakan dalam berbagai acara. Ini bukan persoalan studinya di perguruan tinggi, tapi "terdaftar resmi" sebagai "mahasiswa(dibaca :anak kos) " lah tiket untuk bisa bergaul dengan siapa aja. Ingin ketemu walikota misalnya, atas nama mahasiswa, ajak ngopi, kasih tema pertemuan "silaturahmi bersama walikota, selesai. Bila butuh dukungan kerja sosial, deketin caleg, malam ajak diskusi, beli kopi, selesai. Bila status mahasiswa terus dilanjutkan ke jenjang S2, aku berfikir ini akan membuka akses untuk terus berkomunikasi dengan golongan terdidik, terpandang sekaligus punya peran