Langsung ke konten utama

Hidangan Kerabat Tuhan

Menghadirkan suasana bersahabat dan intim dengan menawarkan kopi, teh, atau hal kecil seperti rokok sudah mainstream dilakukan oleh manusia terhadap tamu dan kerabatnya. Tapi bagaimana bila yang ditawarkan itu Jamur beracun, Ganja, dan Opium? 

Kamu akan berfikir  mereka sedang bermaksud untuk mengajakmu mabuk dan masuk dunia gelap. Sudah pasti kamu akan menolaknya karena takut terpengaruhi lebih jauh. Tapi bila kamu hidup beberapa abad yang lalu, alasan kamu menolaknya bukan karena takut malahan karena itu adalah hidangan kerabat tuhan. 

Serious? Iya, jenis-jenis tanaman entheogens itu sering ditemukan pada upacara keagamaan. Para petinggi agama pagan menggunakannya untuk bisa membuka pintu komunikasi dengan roh leluhur atau sekedar merasakan kehadiran dewa-dewa atau bisikan tuhan ke telinga mereka. 

Petinggi-petingi agama sekaligus adat ini diklaim oleh masyarakatnya sebagai gate keeper/ portal ke dunia lain. Maka dari itu mereka berada pada strata sosial tertinggi dalam masyarakat sekaligus golongan yang punya hubungan khusus dengan tuhan. 

Tumbuhan esktasi diatas digunakan oleh mereka untuk membuka mata batin atau sixth sense dalam bentuk hidangan dupa atau ramuan herbal makanya disebut "hidangan kerabat tuhan"

Tapi seiring  kemajuan intelegensi manusia, evolusinya terus mendorong mereka secara mandiri mencari tumbuhan psikoaktif untuk rekreasi, pun tanpa campur tangan " orang pandai" mereka bisa. 

Misalnya fungus enthogens yang lazimnya tumbuh pada kotoran sapi, yang sering digunakan oleh golongan brahmanian untuk ritual komunikasi alam ghaib, mereka santap. Ganja / Cannabis Sativa digunakan oleh petinggi adat kaum aztec, mesir kuno, dan persia kuno bahkan viking untuk bisa berpindah ke alam roh guna menjalin komunikasi dengan dewa mereka, juga mereka embat. 

Dengan menjamurnya manusia yang telah mandiri untuk mengkonsumsi tanaman ajaib ini, profesi dukun, peramal dan orang pandai sebagai kerabat tuhan mulai ditinggalkan, berlanjut dengan dunia modern bangkit, tetapi kasta hidangan ini tidak turun kelas ke level wong cilik. 


Konspirasi level bawah



Komentar

  1. Sudah lama sekali saya tidak menemukan tulisan yang menggugah seperti ini, mengungkap sesuatu yang tabu. Dengan gaya pembahasan yang khas dan pemilikan diksi kata yang tepat, tulisan ini sangat keren!!!

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Kapan² bisa jadi bahan diskusi sambil "menyeruput" secangkir kopi... "Konspirasi kopi hitam"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada tantangan baru nih, jadi pengen ngulas, hehe, makasi mr. Anam.

      Hapus
  4. Hidangan kerabat Tuhan. Benarkah ?

    BalasHapus
  5. Keren Mr. Really much better than the previous one. Cuma sy belum faham di bagian akhir yg menyinggung masalah Kapitalis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi mr syafa, masukan anda akan menjadi petbaikan kedepan.

      Hapus
  6. mantap dan keren tulisannya, lama mencari informasi seperti ini

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jawaban bila ditanya kapan pulang

Keberangkatanku dari kampung halaman, dimata orang lain adalah hal mainstream,  dan banyak dilakukan oleh pemuda seusiaku. Beragam kesimpulan bisa terpikir tapi aku bertujuan lain.  Hampir tidak menyisakan sama sekali pemuda seusiaku di desa tempat aku dibesarkan. Semuanya berangkat, ada yang di Jakarta, di Medan dan manyoritas di Malaysia menjadi diaspora Aceh.  Bisa dibilang, budaya merantau pada masyarakat daerahku telah mendarah daging sebagai sebuah tradisi. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang memulainya, tapi phenomena ini terus ada dari generasi ke generasi.  Seingatku pernah dulu, masa dipaksa berlakunya ktp merah putih untuk semua penduduk di Aceh. Memasuki usia 17 tahun, atau tamat SMA, pemuda desa langsung berangkat ke malaysia dan memulai hidup baru disana, hal ini dikarenakan perang berkepanjangan membuat sulit membuka usaha di daerah.  Ada juga setelahnya, dimasa damai. Tiap aku menerima koran harian, di halaman depan, selalu aja ada pemberitaan,

Senyum Palsu

by Moh Jawahir  a Master Student of International Development Tsinghua University Hal yang paling menyedihkan ketika manusia tumbuh dewasa ialah mereka merasa bahwa masa kecil dan segala kenangan didalamnya adalah hal yang seutuhnya harus ditinggalkan. Padahal, masa kanak-kanak mengajarkan banyak hal yang cukup berarti untuk kehidupan kita. Saat lebaran misalnya, mereka berlomba-lomba menunjukan baju baru dan mainan yang dibelikan mamah papahnya sebagai imbalan telah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Meski begitu, mereka menganggap ini bukanlah persaingan. Pasalnya, mereka tetap bisa bermain bersama tanpa membedakan baju dan jenis mainan yang dimilikinya, bahkan tak jarang mereka berbagi pinjam. Namun sayang, semua itu nampak mulai berubah saat mereka beranjak dewasa.  Kampung di mana aku dan teman-teman menghabiskan masa kecil yang penuh gelak tawa, kini sudah tak lagi sama. Nampak asing dan sudah tidak menyenangkan seperti dulu. Hampir semua teman-teman seus

Cuma Rasa-rasanya

Selama studi S1, dulu, aku merasa fleksibel banget bertemu politisi, pemangku kepentingan, pejabat daerah, pekerja profesi, dan ahli bidang tertentu hingga ke lintas provinsi. Padahal ini cuma "rasa-rasanya" saja bisa ngobrol rileks semeja, mesan kopi dan duduk dengan orang level berbeda. Bahkan beberapa temanku juga lebih intens diikutsertakan dalam berbagai acara. Ini bukan persoalan studinya di perguruan tinggi, tapi "terdaftar resmi" sebagai "mahasiswa(dibaca :anak kos) " lah tiket untuk bisa bergaul dengan siapa aja. Ingin ketemu walikota misalnya, atas nama mahasiswa, ajak ngopi, kasih tema pertemuan "silaturahmi bersama walikota, selesai. Bila butuh dukungan kerja sosial, deketin caleg, malam ajak diskusi, beli kopi, selesai. Bila status mahasiswa terus dilanjutkan ke jenjang S2, aku berfikir ini akan membuka akses untuk terus berkomunikasi dengan golongan terdidik, terpandang sekaligus punya peran