Langsung ke konten utama

Jawaban bila ditanya kapan pulang



Keberangkatanku dari kampung halaman, dimata orang lain adalah hal mainstream,  dan banyak dilakukan oleh pemuda seusiaku. Beragam kesimpulan bisa terpikir tapi aku bertujuan lain. 

Hampir tidak menyisakan sama sekali pemuda seusiaku di desa tempat aku dibesarkan. Semuanya berangkat, ada yang di Jakarta, di Medan dan manyoritas di Malaysia menjadi diaspora Aceh. 

Bisa dibilang, budaya merantau pada masyarakat daerahku telah mendarah daging sebagai sebuah tradisi. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang memulainya, tapi phenomena ini terus ada dari generasi ke generasi. 

Seingatku pernah dulu, masa dipaksa berlakunya ktp merah putih untuk semua penduduk di Aceh. Memasuki usia 17 tahun, atau tamat SMA, pemuda desa langsung berangkat ke malaysia dan memulai hidup baru disana, hal ini dikarenakan perang berkepanjangan membuat sulit membuka usaha di daerah. 

Ada juga setelahnya, dimasa damai. Tiap aku menerima koran harian, di halaman depan, selalu aja ada pemberitaan, orang Aceh tertangkap di malaya dan dipulangkan. Kebanyakan dengan pantatnya lebam. Alasannya tidak karuan, abangku sendiri cuma ingin ikut-ikutan. Pokoknya trending banget di kampung halaman. 

Nah, aku seolah udah datang giliran. Dengan keadaan berasal dari keluarga kurang mapan, untuk bisa memenuhi makan harian saja harus rajin memetik apa yang ditanam, sudah pasti orang menggapku merantau untuk mencari uang, pahal aku cuma ingin merubah keadaan.

Setidaknya aku diperantauan, belajar banyak untuk merubah cara pandang. Melihat semua keadaan sebagai peluang, mendapati keenganan orang sebagai jalan. Dan masih banyak lagi yang akan aku pelajari untuk dibawa pulang. 

Berbekal ijazah sarjana pendidikan, diperantaun aku masih berjuang untuk diterima, bukan saja untuk diterima oleh " mak tuan" (calon mertua) tapi perguruan tinggi ternama contoh salah satunya ada di negara australia, amerika dan  jerman, melanjutkan ke strata dua (magister degree) . Karena dua kali tes dan wawancara tidak lolos beasiswa, aku enggan menyebutkan jurusan pilihan. 

Sekarang aku masih diperantaun, bila ada yang bertanya kapan pulang, bilang saja aku akan pulang bila sudah pasti siapa "mak tuan."





Komentar

  1. Komentar dikit kawan.cara pengetikan tulisan masi kurang
    Yg lain the best

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi atas masukannya ya. Akan diperbaiki kembali

      Hapus
  2. Tetiba jadi inget quotes: Merantaulah, maka kau tau seberapa mahal tiketmu pulang :"")

    BalasHapus
  3. Mungkin Tgk harus mencari calon mertua disana, karena kita juga mengingat usia. Banyak yang mengatakan" tuha ue jeut keu bijeeh, tuha ..... Hana tatuhoe ba" 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oman, harus eksekusi lam tulisan laen panton droeuneuh nyan. Hahaha, thank yatgk sarayulis

      Hapus
    2. Haha not at all gure,,
      Lanjutkan karya mu!

      Hapus
  4. Merantaulah nak sampai ke amazon 5 hari ini jam 1 siang

    BalasHapus
  5. Makasi mr indre, akn kuingat selalu pesanmu. Hehe

    BalasHapus
  6. Besok matahari masih akan terbit, kata BMKG.
    Masih ada waktu untuk terus berusaha kisanak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas laporan cuaca besok hari, saya akan tetap semangat.

      Hapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Luar biasa anak muda hebat, sangat menginspirasi...

      Hapus
    2. Makasi mr mahdawi, komentar nya membangun sekali

      Hapus
  8. Mantaaap, ini keren sekali. Memotivasi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi mr jawa, komentarnya menyemangati sekali

      Hapus
  9. Mantap bg curahan yg natural ini, Saya juga mengalami ini

    BalasHapus


  10. kita tahu bahwa merantau salah satu Cara mengubah hidup sesui apa yang dianjurkan nabi.

    good luck bubung , have a success for you

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuah, komentar nya bikin semangat akunya, makasi ya

      Hapus
  11. Mak tuannya d pare sr... Jd gk pulng k aceh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi mr sukmo, tapi belum punya walau saya disini. Hehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senyum Palsu

by Moh Jawahir  a Master Student of International Development Tsinghua University Hal yang paling menyedihkan ketika manusia tumbuh dewasa ialah mereka merasa bahwa masa kecil dan segala kenangan didalamnya adalah hal yang seutuhnya harus ditinggalkan. Padahal, masa kanak-kanak mengajarkan banyak hal yang cukup berarti untuk kehidupan kita. Saat lebaran misalnya, mereka berlomba-lomba menunjukan baju baru dan mainan yang dibelikan mamah papahnya sebagai imbalan telah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Meski begitu, mereka menganggap ini bukanlah persaingan. Pasalnya, mereka tetap bisa bermain bersama tanpa membedakan baju dan jenis mainan yang dimilikinya, bahkan tak jarang mereka berbagi pinjam. Namun sayang, semua itu nampak mulai berubah saat mereka beranjak dewasa.  Kampung di mana aku dan teman-teman menghabiskan masa kecil yang penuh gelak tawa, kini sudah tak lagi sama. Nampak asing dan sudah tidak menyenangkan seperti dulu. Hampir semua teman-teman seus

Cuma Rasa-rasanya

Selama studi S1, dulu, aku merasa fleksibel banget bertemu politisi, pemangku kepentingan, pejabat daerah, pekerja profesi, dan ahli bidang tertentu hingga ke lintas provinsi. Padahal ini cuma "rasa-rasanya" saja bisa ngobrol rileks semeja, mesan kopi dan duduk dengan orang level berbeda. Bahkan beberapa temanku juga lebih intens diikutsertakan dalam berbagai acara. Ini bukan persoalan studinya di perguruan tinggi, tapi "terdaftar resmi" sebagai "mahasiswa(dibaca :anak kos) " lah tiket untuk bisa bergaul dengan siapa aja. Ingin ketemu walikota misalnya, atas nama mahasiswa, ajak ngopi, kasih tema pertemuan "silaturahmi bersama walikota, selesai. Bila butuh dukungan kerja sosial, deketin caleg, malam ajak diskusi, beli kopi, selesai. Bila status mahasiswa terus dilanjutkan ke jenjang S2, aku berfikir ini akan membuka akses untuk terus berkomunikasi dengan golongan terdidik, terpandang sekaligus punya peran