Langsung ke konten utama

Senyum Palsu




by Moh Jawahir 
a Master Student of International Development
Tsinghua University

Hal yang paling menyedihkan ketika manusia tumbuh dewasa ialah mereka merasa bahwa masa kecil dan segala kenangan didalamnya adalah hal yang seutuhnya harus ditinggalkan. Padahal, masa kanak-kanak mengajarkan banyak hal yang cukup berarti untuk kehidupan kita. Saat lebaran misalnya, mereka berlomba-lomba menunjukan baju baru dan mainan yang dibelikan mamah papahnya sebagai imbalan telah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Meski begitu, mereka menganggap ini bukanlah persaingan. Pasalnya, mereka tetap bisa bermain bersama tanpa membedakan baju dan jenis mainan yang dimilikinya, bahkan tak jarang mereka berbagi pinjam. Namun sayang, semua itu nampak mulai berubah saat mereka beranjak dewasa. 

Kampung di mana aku dan teman-teman menghabiskan masa kecil yang penuh gelak tawa, kini sudah tak lagi sama. Nampak asing dan sudah tidak menyenangkan seperti dulu. Hampir semua teman-teman seusiaku tak lagi menetap di sana, ada yang melanjutkan sekolah di kota, bekerja, dan mendapatkan jodoh di tempat lain. Yang jelas jika ditanya, alasan mereka hijrah ke kota adalah untuk kehidupan yang lebih baik. Memang benar, karena realitasnya, lapangan pekerjaan yang tersedia di kampungku tidak memadai untuk mereka semua. Seperti halnya yang lain, aku pun sama, meninggalkan kampung halaman untuk secercah harapan yang lebih baik di masa mendatang.

 Seiring berjalannya waktu, tidak hanya perbedaan tempat yang menerpa kami, tetapi kualitas persahabatan itu sendiri semakin terdegradasi. Bukan karena kurangnya intensitas pertemuan, tetapi lebih kepada intensi untuk menunjukan bahwa dirinya yang paling sukses diantara kami. Bahkan, lebaran yang seharusnya menjadi momen berharga untuk bernostalgia, menceritakan kembali kekonyolan yang kami alami semasa kecil, dan menjadi wadah untuk saling bertukar informasi, baik soal pekerjaan maupun soal jodoh, kini dijadikan ajang unjuk gigi akan kesuksesan yang telah digapai selama merantau. Mirisnya, hanya untuk terlihat sempurna, mereka rela melakukan berbagai upaya, yang maaf menurutku agak konyol.

Suatu ketika, aku mendapati teman di perantauan. Ia rela hidup dibawah standar, makan seadanya, dan bekerja siang malam hanya agar terlihat lebih berhasil dibanding teman dan kerabatnya saat mudik lebaran nanti. Ia tidak perduli bagaimana kualitas hidupnya sehari-hari, yang terpenting ia bisa terlihat sempurna, tertawa akan apa yang telah dicapainya, bahkan mungkin untuk menertawakan mereka yang tidak lebih sukses darinya. 

Era disrupsi dengan kemajuan teknologi sebagai penanda utamanya yang kita rasakan hari ini, semakin memperparah keadaan diatas. Mereka tak lagi harus menunggu momen mudik lebaran untuk menunjukan kesuksesannya, berbagai platform media sosial yang tersedia turut menjadi pelampiasan mereka untuk mewujudkan itu. Sebagai contoh, tidak sedikit para milenial yang rela membayar mahal makanan di suatu kafe atau pergi ke suatu tempat yang menarik dan artistik, hanya untuk menghasilkan poto yang luar biasa keren. Dibalut dengan senyuman yang manis dan dibumbui dengan caption yang menyentuh, menjadikan ia nampak terlihat sempurna di platform media sosial. Meski, tak sesuai dengan kenyataan yang dialaminya. Lebih dari itu, keberhasilan mereka seakan diukur dari seberapa banyak orang yang menekan like dengan jempolnya dan memberikan komentar positif pada media sosialnya. Sialnya lagi, kondisi ini diikuti oleh sebagian orang dan menjadikannya sebagai standar kesuksesan. Jika benar demikian, maka bukan tak mungkin, senyum manis yang terpancar di media sosial ialah semu belaka, senyum palsu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jawaban bila ditanya kapan pulang

Keberangkatanku dari kampung halaman, dimata orang lain adalah hal mainstream,  dan banyak dilakukan oleh pemuda seusiaku. Beragam kesimpulan bisa terpikir tapi aku bertujuan lain.  Hampir tidak menyisakan sama sekali pemuda seusiaku di desa tempat aku dibesarkan. Semuanya berangkat, ada yang di Jakarta, di Medan dan manyoritas di Malaysia menjadi diaspora Aceh.  Bisa dibilang, budaya merantau pada masyarakat daerahku telah mendarah daging sebagai sebuah tradisi. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang memulainya, tapi phenomena ini terus ada dari generasi ke generasi.  Seingatku pernah dulu, masa dipaksa berlakunya ktp merah putih untuk semua penduduk di Aceh. Memasuki usia 17 tahun, atau tamat SMA, pemuda desa langsung berangkat ke malaysia dan memulai hidup baru disana, hal ini dikarenakan perang berkepanjangan membuat sulit membuka usaha di daerah.  Ada juga setelahnya, dimasa damai. Tiap aku menerima koran harian, di halaman depan, selalu aja ada pemberitaan,

Cuma Rasa-rasanya

Selama studi S1, dulu, aku merasa fleksibel banget bertemu politisi, pemangku kepentingan, pejabat daerah, pekerja profesi, dan ahli bidang tertentu hingga ke lintas provinsi. Padahal ini cuma "rasa-rasanya" saja bisa ngobrol rileks semeja, mesan kopi dan duduk dengan orang level berbeda. Bahkan beberapa temanku juga lebih intens diikutsertakan dalam berbagai acara. Ini bukan persoalan studinya di perguruan tinggi, tapi "terdaftar resmi" sebagai "mahasiswa(dibaca :anak kos) " lah tiket untuk bisa bergaul dengan siapa aja. Ingin ketemu walikota misalnya, atas nama mahasiswa, ajak ngopi, kasih tema pertemuan "silaturahmi bersama walikota, selesai. Bila butuh dukungan kerja sosial, deketin caleg, malam ajak diskusi, beli kopi, selesai. Bila status mahasiswa terus dilanjutkan ke jenjang S2, aku berfikir ini akan membuka akses untuk terus berkomunikasi dengan golongan terdidik, terpandang sekaligus punya peran