Langsung ke konten utama

18+ tahun keatas



Ini ceritaku saat bakti sosial ke desa pelacuran, Gedang Sewu. Letaknya tidak jauh dari kampung inggris pare.

Hari pertama aku bergabung dengan rekan volunteers lainnya, diajak berkumpul di pojokan jalan, ada base camp tempat tim sering berkumpul namanya bee course.

 Seolah didorong oleh nafsu ingin tahuku sendiri, rasa penasaran mengundang perhatian setelah beberapa pertanyaan kulontarkan.
"apakah disana bebas? Tanyaku pada ketua tim."
 "Iya, disana kehidupannya tidak baik buat perkembangan karakter anak-anak".

"Bukan, maksudku apakah bebas buat volunteer berkeliaran?". Wuah, ngapain mas, mencurigakan sekali. Kita disana uda terkonsentrasi pada satu titik saja, di rumah dhuafa, bangunan pinjaman dari desa. Sambil tertawa, dia menawarkan teh supaya cair suasana dan semua yang ada disitu bisa lebih akrab kalau disapa. 

"Saya ingin tahu kehidupan sosial warga disana". 

"Saat kita datang kesana, ada penjaga portal, mereka bakal ngasih kode ke seluruh penduduk buat masuk kedalam atau bersikap normal bila kita sudah masuk. Jadi mungkin kita tidak akan tahu pasti seperti apa kehidupan mereka". Sahutnya. Lebih-lebih gadis usia 18+ keatas, mereka udah dilarang keras bertemu dengan pendatang. Mungkin mereka punya alasan tersendiri, siapa yang tahu. 

Padahal aku ingin melihat kenyataan dilapangan atas bacaan yang kuhabiskan  selama 1 pekan. Ini memoir pekerja seks komersial untuk memenuhi permintaan video hot di channel PORNHUB, YOUPORN, XXXVIDEO dan beberapa situs nakal lainnya. 

Singkat cerita, yang ingin kutanyakan pada PSK ditempat itu adalah permintaan yang memaksanya menerima keadaan saat mulutnya dijadikan alat pembersih setelah selesai dari dubur. Kalian paham kan? 

Karena menurut pengakuan Oriana dalam bukunya dia dibayar fantastis untuk adegan ini tapi dia tidak bisa menikmatinya dan merasa tidak punya harga diri lagi. 

Untuk seorang yang sudah terdaftar sebagai mahasiswa S3, dia tidak bisa mentolerir atas eksploitasi terhadap dirinya sebagai perempuan yang begitu memakan perasaan. Walaupun sebelumnya dia kerap kali dan biasa aja diajak threesome dan foursome oleh kru perfilman. 

Kami masih nge-teh disitu sambil menunggu angkot jemputan dan menunggu anggota lainnya datang. Jadi sebelum sampai kesana, aku berfikir ulang, apakah pertanyaanku akan dijawab dengan "kemaluan" atau timpalan kurang ajar oleh wanita-wanita jalang menurut pandangan orang yang hidup di lingkungan orang alim. 

Kupikir kedua jawaban diatas itu sama bangsatnya maka aku hanya memendam saja, supaya tidak ada yang merasa dirugikan. Sisanya beberapa paragraf lagi tulisan ini selesai, Labi-labi pun datang,  maka kusimpan saja dan bergegas ke bangku yang sudah disiapkan, sambil ngipas-ngipas kepanasan kami pun berangkat ke area kupu-kupu malam. 

Tulis pesan di kolom komentar bila masih butuh penjelasan, nanti aku lanjutkan. 

Komentar

  1. Ini realitas yang tidak bisa dikesampingkan. Harapanku, bakti sosial tidak hanya sebatas materil, tetapi menyentuh aspek mental yang mampu merubah paradigma berfikirnya.

    BalasHapus
  2. Tampaknya, industri prostitusi kian eksis meski tak di lokalisasi. Khusus daerah yg tersisa ini, mungkin saja bakal masuk dalam list kunjungan saya.
    Focus pada riset fluktuasi rasa di atas selangkangan berbayar.😹😹😹 #cewecantik

    BalasHapus
  3. Haruskah prostitusi itu di legalkan? Untuk menjamin hak² para pekerja seks. Dan mengontrol penyakit seks yg membahayakan.... Ataukah seharusnya pemerintah menindak tegas para pelaku seks? untuk mencegah adanya human trafficking dan eksploitasi anak dan masa depan mereka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi atas pesan yang dicoba sampaikan sir, isu ini menarik buat diulas kembali. Hehe

      Hapus
  4. Jadi penasaran dengan kelanjutannya ini Sir

    BalasHapus
  5. Pengen join kalo ke Gedangsewu lagi

    BalasHapus
  6. Ikut volunteer sir. Bersama menuntaskan tunasusila

    BalasHapus
  7. Lanjutkan Mr.Gan,
    semoga "penyakit" ini tidak merambah ke daerah2 laen..🤐

    BalasHapus
  8. Saya juga pernah ikut ke tempat itu sir. Setelah itu, saya cerita ke ibu kos. Ternyata tempat itu sudah diketahui oleh masyarakat di sana. Apakah ada tindak dati pemerintah untuk berusaha mengentaskan praktek prostitusi di sana? Atau bahkan memang sengaja dibungkam. Hhi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jawaban bila ditanya kapan pulang

Keberangkatanku dari kampung halaman, dimata orang lain adalah hal mainstream,  dan banyak dilakukan oleh pemuda seusiaku. Beragam kesimpulan bisa terpikir tapi aku bertujuan lain.  Hampir tidak menyisakan sama sekali pemuda seusiaku di desa tempat aku dibesarkan. Semuanya berangkat, ada yang di Jakarta, di Medan dan manyoritas di Malaysia menjadi diaspora Aceh.  Bisa dibilang, budaya merantau pada masyarakat daerahku telah mendarah daging sebagai sebuah tradisi. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang memulainya, tapi phenomena ini terus ada dari generasi ke generasi.  Seingatku pernah dulu, masa dipaksa berlakunya ktp merah putih untuk semua penduduk di Aceh. Memasuki usia 17 tahun, atau tamat SMA, pemuda desa langsung berangkat ke malaysia dan memulai hidup baru disana, hal ini dikarenakan perang berkepanjangan membuat sulit membuka usaha di daerah.  Ada juga setelahnya, dimasa damai. Tiap aku menerima koran harian, di halaman depan, selalu aja ada pemberitaan,

Senyum Palsu

by Moh Jawahir  a Master Student of International Development Tsinghua University Hal yang paling menyedihkan ketika manusia tumbuh dewasa ialah mereka merasa bahwa masa kecil dan segala kenangan didalamnya adalah hal yang seutuhnya harus ditinggalkan. Padahal, masa kanak-kanak mengajarkan banyak hal yang cukup berarti untuk kehidupan kita. Saat lebaran misalnya, mereka berlomba-lomba menunjukan baju baru dan mainan yang dibelikan mamah papahnya sebagai imbalan telah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Meski begitu, mereka menganggap ini bukanlah persaingan. Pasalnya, mereka tetap bisa bermain bersama tanpa membedakan baju dan jenis mainan yang dimilikinya, bahkan tak jarang mereka berbagi pinjam. Namun sayang, semua itu nampak mulai berubah saat mereka beranjak dewasa.  Kampung di mana aku dan teman-teman menghabiskan masa kecil yang penuh gelak tawa, kini sudah tak lagi sama. Nampak asing dan sudah tidak menyenangkan seperti dulu. Hampir semua teman-teman seus

Cuma Rasa-rasanya

Selama studi S1, dulu, aku merasa fleksibel banget bertemu politisi, pemangku kepentingan, pejabat daerah, pekerja profesi, dan ahli bidang tertentu hingga ke lintas provinsi. Padahal ini cuma "rasa-rasanya" saja bisa ngobrol rileks semeja, mesan kopi dan duduk dengan orang level berbeda. Bahkan beberapa temanku juga lebih intens diikutsertakan dalam berbagai acara. Ini bukan persoalan studinya di perguruan tinggi, tapi "terdaftar resmi" sebagai "mahasiswa(dibaca :anak kos) " lah tiket untuk bisa bergaul dengan siapa aja. Ingin ketemu walikota misalnya, atas nama mahasiswa, ajak ngopi, kasih tema pertemuan "silaturahmi bersama walikota, selesai. Bila butuh dukungan kerja sosial, deketin caleg, malam ajak diskusi, beli kopi, selesai. Bila status mahasiswa terus dilanjutkan ke jenjang S2, aku berfikir ini akan membuka akses untuk terus berkomunikasi dengan golongan terdidik, terpandang sekaligus punya peran