Pagi sekali, bangun dari tidur, saya buka laptop buat melanjutkan tulisan investigasi pelacuran Gedang Sewu, tapi perut lapar sekali.
Saya bergegas keluar mencari sarapan bersama teman dan berhenti di rumah makan pinggir jalan, disini lumanyan murah, cukup bawa uang 20 ribu buat berdua.
Awalnya baik-baik saja, kami duduk bersabar menunggu makanan diantar. Pesanan saya tiba, ada ayam bakar dan sepiring nasi, minumannya teh hangat. 10 menit kemudian, pesanan teman juga tiba. Betapa menggugah seleranya saya melihat udang goreng dan sotong, rasanya saya mau berteriak "Sedaaap",
tapi batal karena melihat ada kol goreng.
Bukan cuma aneh, tapi ini merendahkan budaya eropa. Kol ini sejenis kubis, di daratan asli tanaman ini tumbuh, orang-orang memperlakukannya sebagai lalapan mentah, ditumis dan juga dikasih kuah tapi tidak pernah menggorengnya.
Bagi orang yang memegang teguh budaya eropa, mungkin akan terkejut saat menemukan kubis favorit mereka menjadi bahan ujicoba dapur Indonesia . Dan lagi, sudah terlanjur diekspor ke seluruh nusantara, tentu, kalo tidak di jus seperti terong belanda, ya pasti digoreng seperti tempe mendoan.
Kubis tidak pernah meminta diekspor oleh portugis atau belanda dan Pribumi tempoe doloe hanya menanaminya untuk kebutuhan bangsa eropa, wajar saja bila mereka tidak tahu sayuran impor ini harus dieksekusi seperti apa. Jadi bila bila ada orang datang " Menggugat kol goreng" ini sia-sia.
Selain sudah membudaya, kol goreng juga telah menjadi idola para pecinta kuliner nusantara. Mulai dari penjual sarapan pinggir jalan sampai rumah makan berlantai dua, menyajikannya dalam menu sajian mereka.
Lalu apa? Saya coba duduk tenang dan tidak berargumen apa-apa. Biar saja, teman sedang makan, dan sebentar lagi saya juga selesai. Kami pulang.
Bahasannya ringan dan enak dibaca. Keren!!!
BalasHapusMakasi mr jawa
HapusMantap ya bahasanya,
BalasHapusMakasi uda aziz
Hapusmantap Mr. teruslah berkarya
BalasHapusMakasi mr hamdi
HapusMantap Mr , Semangat terus berkarya nya
BalasHapusMakasih support nya
HapusBhasanya itu kerren apalagi yang diakhir itu kayak ada sajaknya, jadi lebih renyah ketika dibaca...
BalasHapusAkan saya pertahankan
HapusSangat menginspirasi, saya yg sedari dulu berpikir untuk mempertahankan status lajang seperti nya harus mulai berpikir ulang.
BalasHapusWuah, hahaha
HapusSaya kira akan membahas "Pelacuran Gedang Sewu juga, Mr. Tapi pas baca ngga kerasa udah selesai aja. Senyantai itu looooh tulisannyaa. Ngalir gitu aja. 👍👍👍
BalasHapusMakasi atas pujiannya
HapusMenurut buku Tatang Sutarman Hal. 31 menyebutkan bahwa kol adalah "suatu jalan yang shopisticated in cutting edge era untuk memangkas waktu tempuh". Ditambah program dari Mas Joko semakin menambah kebiasaan orang Indonesia menggunakan jalan ini meskipun pembiayaan harus meminta untuk sementara ke orang Aseng dengan Corona sebagai kompensasi.
BalasHapusWuaaa hahahaha gokil
HapusAsik dibaca sambil mengisi waktu luang. Temanya ringan tp menarik. Sukses terus Bang 💪🏻
BalasHapusMakasi miss selvi hehe
HapusLuar biasa, inspiratif
BalasHapusMakasi redaksi
HapusMantap nih
BalasHapusMakasi sir
Hapusberawal dari kol goreng kemudian dikaitkan dengan membahas budaya eropa. bagus banget sekalian nambah pengetahuan tentang kol. i like your critical thinking very much
BalasHapusEhmmm.... Bang ini keluar dr ekspektasi. Bagus kok mr. Saya pikir akan lebih baik jika kualitas kontennya ditambah ya mr
BalasHapusMakasi master Tismen
Hapus